Perjalanan Menuju Akhir



Kali ini akan benar-benar jadi yang terakhir, katamu, kataku. Kita menyepakati. Kalimat demi kalimat saling bersautan lewat sambungan telepon yang menjadi saksi bisu  malam panjang itu. Diucapkan dengan suara yang setengah mati dipaksa agar tidak terdengar gemetar. Agar lawan bicara di seberang telepon tidak menyadari tangisan yang berusaha ditahan. Padahal, keduanya hanya berpura-pura tidak tahu.
 
Setelah ini tidak perlu saling mengabari, tidak usah saling mencari maupun peduli lagi. Kalau rindu, ingin tahu, masih sayang, ditahan saja. Walau rasanya benar-benar menyiksa, tahan saja. Setidak tahan apapun, tahan saja. Tapi, sebelum hari itu tiba, mari menjalani hari-hari seperti biasanya. Kalau bisa, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sebelum bab terakhir dari cerita yang rumit ini benar-benar ditutup. Sebelum tidak ada lagi kesempatan untuk menjadi 'kita' di antara kamu dan aku.

Adalah sebuah kesempatan besar untuk benar-benar mengakhiri semuanya dengan tidak berada di kota yang sama dalam beberapa bulan ke depan. Lagipula, memang seharusnya sudah berakhir sejak lama. Sejak hari itu, satu tahun lebih yang lalu. Sebelum-sebelumnya, segala kalimat perpisahan dan usaha untuk saling melepaskan diri tidak pernah benar-benar berhasil. Sebab kita dua orang yang terjebak perang tidak berkesudahan antara logika dan perasaan. Dan, di banyak kesempatan, perang itu hanya melukai kita berdua. Orang-orang di sekeliling kita mengetahuinya, sementara kita berpura-pura tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Kadang-kadang ini disebut sebagai mekanisme pertahanan diri, tapi itu tidak berbeda dari sekadar pembelaan.

Aku tidak tahu hidup akan membawa kita ke mana. Namun, yang kali ini pun akan berlalu. Pada akhirnya kamu akan menemukan duniamu, begitu pun aku. Aku juga tidak tahu, apakah kedua dunia yang nanti kita temukan itu adalah dua hal yang benar-benar tidak akan pernah bisa bersatu?

"Aku ingin melihatmu bahagia tanpaku," ucapmu yakin. Aku hanya membatin, "Semoga Tuhan melapangkan hatiku."

Komentar

  1. "Aku juga tidak tahu, apakah kedua dunia yang nanti kita temukan itu adalah dua hal yang benar-benar tidak akan pernah bisa bersatu?"

    Nyeuus bangettt.. dipikir-pikir sedih banget, karena selalu ada kemungkinan takdir kita sama seseorang akhirnya bener-bener gak bersinggungan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Baik dari Masa Putih Abu-Abu

September 2002: Dunia Menyambut Kelahirannya

Am I Good Enough?