Perayaan Hari Kasih Sayang

"Gue cuma pengen apapun yang gue rasain, sesepele apapun penyebabnya juga, gue pengen semua perasaan gue divalidasi dan diakuin kalau emang gapapa. Gapapa merasa kayak gitu. Gue boleh sedih, gue boleh bodoh, gue boleh marah karena hal kecil, gue boleh merasakan apapun. Semua perasaan gue valid. Gue cuma pengen denger kalimat kayak gitu. Dan gue nggak berani untuk ngomong ke siapapun....

Hari kedua bulan Maret 2023. Langit mulai gelap. Aku dan Punkpunk, si motor kesayangan, melaju cukup kencang di jalanan Kota Jogja yang kala itu tidak terlalu lengang. Kalimat-kalimat yang kurekam sambil terisak di ponselku pada hari kasih sayang sebulan yang lalu itu terus terngiang. Bagai berenang di kepala. Tempat yang hendak kutuju adalah salah satu universitas swasta yang menyediakan layanan konseling bersama psikolog. Aku telah membuat janji temu sejak satu minggu sebelumnya. Ini adalah kali pertama aku melalukan konseling dengan psikolog secara offline, setelah sebelumnya aku melakukannya secara online satu kali.

Setibanya di sana, aku diantar oleh seorang mahasiswa yang bertugas menuju ruangan konseling. Psikolog datang. Duduk di hadapanku. Kami saling memperkenalkan diri. Gugup. Tidak mudah bagiku untuk bercerita pada 'orang asing' yang baru saja kutemui hari itu. Namun, beliau berhasil membuatku merasa aman dan membuat pembicaraan terus mengalir. Sepanjang bercerita dan mendengarkan tanggapan-tanggapan dari beliau, rasanya seperti ada sesuatu yang mencekik leherku. Aku datang dengan sebuah permasalahan yang sangat ingin segera kuselesaikan, tapi setelah sesi konseling selama 75 menit itu berlangsung, kami menyadari jika akar permasalahanku ini ternyata jauh lebih besar dari yang kukira. Sesi konseling berakhir. Aku bergegas pulang usai mengurus pembayaran dan lainnya. 

Ada dua perkataan beliau yang paling kuingat sampai sekarang, "Ibaratnya luka fisik, tanganmu itu tergores. Lukanya belum sembuh dan masih basah, tapi malah tergores lagi. Rasanya pasti lebih sakit, kan?" Aku mengangguk dan tersenyum hambar di balik masker yang kukenakan. Beliau juga berkata kalau Jogja belum memberikanku rasa aman. Jogja belum menjadi rumah untukku.

Masalahku tidak lantas terselesaikan, namun sesi konseling hari itu berhasil membantu menguraikan benang kusut yang selama ini terbenam di kepalaku. Rasanya cukup melegakan. Ada perasaan bangga terhadap diri sendiri karena berhasil terus berjalan walau dengan langkah yang terseok-seok dan sesekali kehilangan arah. Juga merasa bersyukur karena diri ini tidak pernah meninggalkan. Selalu ada menemani apapun keadaannya.

Kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaanku saat itu adalah 'Sendiri'. Di dunia ini aku hanya sendiri. Terlepas dari adanya keluarga dan teman-teman baik, pada akhirnya aku harus menghadapinya sendirian. Bising jalan raya, kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang, orang-orang yang baru selesai dari pekerjaannya, serta langit yang telah gelap membuatku merasa seperti bukan bagian dari mereka. Di kota yang dulu kudamba-dambakan ini, aku merasa terasing. Di kota yang oleh Joko Pinurbo, seorang penyair, disebut terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan ini, aku hanyalah seorang pengembara tersesat dan kesepian.

Komentar

  1. Wah selama baca ini yg kebayang langit biru ungu nya klo maghrib dan mataharinya dh ilang, gatau kenapa hehe. Lagi-lagi mau apresiasi setiap kalimatnya mantep banget. Ngingetin lagi kalau perlu satu langkah beranj buat memahami diri sendiri. Terima kasih untuk ceritanya beb. Semoga cepat terurai kusutmu dan semoga lebih banyak hal baik buatmu.

    -dari ita yang di semarang

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Baik dari Masa Putih Abu-Abu

September 2002: Dunia Menyambut Kelahirannya

Am I Good Enough?