Now Playing: Diri by Tulus
TW/Sensitive Content
31 Juli 2022
The amount of hate I have towards myself is scary.
Aku mencari cutter di antara tumpukan barang-barangku dan menggenggamnya erat begitu berhasil menemukannya. Sambil terus menangis, aku mencoba menggoreskannya satu kali di pergelangan tangan kiriku. Segala pemikiran buruk terus berdatangan memenuhi kepala, bagai bersuara membujukku untuk mengakhiri semuanya. Karena tidak memiliki keberanian, aku berakhir hanya mencoret-coret pergelangan tangan kiriku dengan spidol berwarna merah. Seperti yang biasa kulakukan ketika pikiran untuk menyakiti diri kembali menghampiriku. Beruntungnya, dia mengetahui kondisiku secara tidak sengaja. Dia mengirimiku pesan, menanyakan keadaanku. Dia juga menelepon, mengajakku keluar untuk menemaninya membeli air minum. Aku mengiyakan, seperti biasanya. Tidak lama setelah itu, dia menjemputku. Menanyai aku ingin pergi ke mana karena sebenarnya dia tidak ingin membeli air minum. Selama perjalanan, tangan kirinya berkali-kali memegangi tanganku dan mengelusnya pelan. Dia juga berusaha menenangkanku dengan kata-katanya yang sama sekali tidak terkesan menghakimi.
"Din, lo kenapa?"
"Lo tadi ngilang ke mana?"
"Capek itu gapapa."
"Kalo ada apa-apa cerita ya, Din. Jangan dipendem sendiri."
"Gapapa kalo lo nggak mau cerita, asal jangan aneh-aneh, ya?"
"Beneran cuma nyoret-nyoret tangan aja?"
"Kalo lo merasa mumet, lo boleh kok ngajak gue keluar jalan-jalan. Selama ini lo baru keluar kalo gue yang ngajak duluan kan?"
Dia mengantarku kembali ke kos dan berkata, "Kalo masih kenapa-kenapa nanti call gue aja gapapa."
Dua hari setelah kejadian di malam itu, aku berusaha mengumpulkan segenap keberanian untuk mengakui suicidal thoughts yang beberapa tahun belakangan ini kerap aku rasakan kepada orang tuaku karena aku berniat untuk meminta bantuan profesional. Aku mengirim pesan yang cukup panjang.
Aku tidak bisa menahan tangisanku begitu membaca balasan yang kuterima. Orang tuaku tidak menghakimi. Ayahku menelepon tidak lama setelah itu. Beliau berkata dengan suara seperti seseorang yang sedang menahan tangis. Intinya, "Nda apa kabar? Nda sehat? Ayah sama mama nggak minta kamu buat jadi apa-apa, jadi bebasin pikiran kamu. Inget mama sama ayah, kamu jangan mikir yang aneh-aneh. Kalo misalnya lagi liburan atau pengen pulang, pulang aja ya, Nda."
Perasaan bersalah memenuhiku. Aku merasa telah menjadi manusia paling tidak bersyukur di bumi. Aku kembali menangis begitu membaca pesan cukup panjang yang dikirimkan salah satu teman dekatku.
"Dinda, terima kasih seenggaknya lo udah berani bilang ke seseorang saat lo dalam pikiran kalut atau perasaan-perasaan buruk itu. Kita gapernah tau kadang kalau lagi sendiri kita yang malah jadi tanpa arah dan untuk cerita itu ke orang pun bukan perkara mudah. Gue gatau apa yang sedang lo lewatin atau mungkin nge-trigger lo untuk ngelakuin itu, tapi din makasih karena udah ngelewatin yang ini juga. Lo orang baik din, gue yakin Allah akan membalesnya dengan mengelilingi lo dengan orang-orang baik juga, jadi gue berharap jangan sampai lo merasa sendiri. Gue sayang banget sama lo din, jangan sedih-sedih ya. Setelah ini semoga lebih banyak hal baik yang terjadi. Jadi, lo bisa ngelupain semua perasaaan buruk dan kosong dalam dirimu dan terpana sama hal-hal baik itu. Bismillah ya nda.. lo pasti bisa menuju langkah-langkah yang selanjutnyaa! Love you."
Beberapa hari kemudian, aku menjadwalkan konsultasi dengan psikolog secara online. Tidak mudah untuk menceritakan segalanya kepada seseorang yang bahkan tidak kukenal. Meski begitu, aku berusaha menceritakan kekhawatiran dan segala hal yang menjadi beban pikiranku. Jujur, tidak terlalu semembantu itu. Mungkin karena baru pertama kali dan aku masih merasa terlalu canggung. Aku sadar ini akan menjadi sebuah perjalanan yang panjang dan kuharap aku tidak akan mengakhirinya di tengah jalan. Bisa bertahan sampai sejauh ini saja sudah hebat.
Maaf, lagi-lagi datang dengan cerita yang kurang baik. Aku hanya ingin berterima kasih kepada orang-orang terdekatku yang tetap mau berada di sisiku bahkan di saat aku ingin meninggalkan diriku sendiri. Peluk sebesar dunia untukku dan siapa pun yang membutuhkannya.
Hi Dinda.
BalasHapusIdk how to react to this one, but I feel you. Read this kaya berkaca pada diriku 9 tahun lalu.
Its okay, Dinda. Telah menemui profesional bukan berarti bakal lansung sembuh, hal yang kamu pendam lama akan perlahan terangkat kok. Semangat ya, lucky you to have that kind of friend.
You are amazing udah bertahan sejauh ini ❣.
haiii, thankyou♡ salam kenal yaaa
HapusNdaaa.. Terima kasih sudah membuka hati dan berani menyampaikan perasaan mu. Semogaa kita cepet ketemu lagi dan ceritaa lebih banyak hal lain, entah yang baik atau buruk. Pokoknya semua hal tentang hidup dan duniađź’–
BalasHapuspengen banget ketemu lo ta dan cerita-cerita tentang apapunnnn
Hapus