Siapa yang Patut Disalahkan?


Sedang ramai dibicarakan di twitter, salah seorang penyiar radio disebut-sebut pernah melakukan pelecehan seksual tahun 2018 lalu. Terlepas dari benar atau tidaknya, aku selalu salut dengan korban yang berani speak up ke hadapan publik. Apalagi pelaku adalah seorang public figure yang pasti punya penggemar dan koneksi yang luas. Aku yakin, sebelum akhirnya memutuskan untuk speak up, korban pasti sudah berkali-kali menghadapi perasaan takut dan ragu. Mereka tahu betul, dengan speak up seperti itu mereka bisa saja diserang, tidak dipercaya, dan mendapat stigma negatif dari masyarakat. Karena selalu saja ada orang-orang yang aku tidak paham mengapa bisa-bisanya mereka menyalahkan korban dalam kasus pelecehan. Entah pakaiannya yang disalahkan, lekuk tubuhnya yang dibilang mengundang, bahkan beberapa orang menyebutkan perempuan memang seharusnya di rumah saja karena keberadannya bisa mengundang syahwat laki-laki. Semua kesalahan seakan-akan ditujukan kepada korban. Kenapa tidak pelaku yang diminta untuk menjaga pandangan? Padahal jelas-jelas ini karena kebodohan pelaku yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya. Di sini aku menyebut korban dan pelaku karena korban bisa saja perempuan maupun laki-laki, begitu pun pelaku.

Kalau boleh jujur, aku juga pernah mengalami pelecehan seksual ketika aku masih SD. Tempat, suasana, pelaku, dan bagaimana reaksiku yang hanya terdiam karena berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, masih sangat jelas di ingatanku. Sayangnya, aku baru paham kalau saat itu aku dilecehkan beberapa tahun setelahnya. Aku merasa marah, kotor, takut, dan sedih. Semuanya bercampur aduk menjadi satu. Aku takut akan reaksi orang-orang yang akan memberi stigma tertentu dan memandang rendah diriku begitu aku ceritakan soal ini. Walaupun tidak separah apa yang pernah dialami orang lain, aku tetap tidak berani untuk menjelaskan detail kejadiannya. Ke depannya pun sepertinya tidak akan. Bagaimana pun bentuknya, pelecehan seksual tetaplah pelecehan.

Setelah kejadian itu, aku pernah bertemu dengan si pelaku beberapa kali. Karena kejadiannya sudah cukup lama, sebagian dari diriku berharap dia tidak mengingat apapun, tapi sebagian diriku yang lain berharap dia mengingat semuanya dengan jelas dan merasa bersalah seumur hidup.

Tidak apa-apa. Ini termasuk hal yang berada di luar kendaliku. Aku dan kalian para korban, tidak bersalah. Pelakulah satu-satunya orang yang pantas terbebani dengan perasaan kotor dan hina itu.

Komentar

  1. Emang kebanyakan korban ragu buat speak up karena takut dianggap berlebihan atau di cap kotor . Huhu . I feel you sis . :(

    BalasHapus
  2. Dengan adanya satu orang speak up, aku berharap ada korban lain speak up. Semua korban harus speak up. Supaya orang-orang tau kalo itu salah dan tidak berlanjut. Terkadang masyarakat menganggap ah cuma gitu doang. Padahal korban ngerasa trauma. Ini perlu dibenahi, minimal dengan korban speak up. Btw salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. haloo, aku baru liat komen ini:"") salam kenal juga!! thankyouu udah mampir hehe

      Hapus
  3. Parahhh, gw sendiri pun merasaa ada bagaian dari pemikiran gw yang emg udah tertanam dari nilai-nilai kuno, harus kitaa yang pelan2 berubahh toh nantinyaa kita yang bakal membentuk wajah masyarakat ini, kan. waw berat sekali arlitaa . tapi gimanaa yaa nyebelin, yang salah malah mungkin punyaa perasaan lebih nyaman dibanding korban karena masih ada aja yang belain pastii. aduh apakabar yaa masa depan mogaa lebih waras

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memori Baik dari Masa Putih Abu-Abu

September 2002: Dunia Menyambut Kelahirannya

Am I Good Enough?