Mengukur Kebahagiaan Seseorang

Belum lama ini aku menjumpai tiga orang yang beranggapan bahwa orang gemuk artinya mereka bahagia dan berlaku sebaliknya, kurus berarti tidak bahagia. Ketiganya laki-laki. Dua di antaranya aku dengar secara langsung, sedangkan satu orang lainnya aku dengar dari cerita temanku.

Meski sudah diberitahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar, mereka tetap gigih dengan pandangan tersebut. Cukup membuatku gregetan, tapi mau bagaimana pun, itu hak mereka untuk berpendapat. Lagipula entah berapa kali dipatahkan argumennya tidak akan berpengaruh, karena memang sudah tertanam seperti itu di pikiran mereka. Jadi, yang bisa kulakukan hanya lah meracau sendirian seperti ini. Menyedihkan.

Aku berasumsi mereka bisa memiliki pemikiran seperti itu mungkin karena sejauh ini orang-orang bertubuh gemuk yang mereka jumpai selalu ‘terlihat’ tidak memiliki masalah dan bahagia, sedangkan orang-orang bertubuh kurus selalu ‘terlihat’ memiliki masalah serta beban yang harus ditanggung sehingga hidupnya tidak bahagia.

Padahal, bukannya tidak ada orang gemuk yang tidak bahagia maupun orang kurus yang bahagia, tapi mereka saja yang kebetulan belum pernah bersinggungan dengan orang-orang tersebut. Atau bisa jadi ada orang-orang seperti itu di sekitar mereka, tapi mereka tidak tahu dan memilih untuk percaya pada hal yang ingin mereka percayai saja. Coba kalau mereka sudi menengok ke sekeliling. Ada orang-orang yang pelarian stress-nya justru ke makanan. Diriku adalah salah satunya.

Ada sebuah dialog dari K-drama yang kutonton, berjudul ‘Soul Mechanic’

A: “Tidak peduli berapa banyak yang aku makan, aku masih lapar.”

B: “Itu karena kau merasa kosong di dalamnya. Makan tidak akan membuatmu menyelesaikannya.” 

Dalam kasusku, kurasa itu cukup tepat.

Stereotipe yang mereka bertiga ciptakan itu menurutku terlalu sok tahu. Setiap orang punya cerita dan permasalahan hidupnya masing-masing. Tidak ada yang dari lahir hingga ajal menjemput hidupnya mulus dari masalah. Karena itu, kebahagiaan seseorang tidak bisa diukur hanya dari ukuran tubuhnya saja. Bahkan dari raut wajahnya sekalipun. Kita tidak tahu topeng apa yang sedang mereka kenakan. Orang yang kelihatan ceria belum tentu sebenarnya dia baik-baik saja, juga yang jarang tersenyum bisa jadi karena dia hanya tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan dirinya.

Lagipula, mengukur kebahagiaan seseorang itu tidak sopan. Kita terlalu tidak tahu apa-apa tentang hidup mereka untuk bisa bersikap demikian.

Komentar

  1. Gue kurus, tapi gak ngebatin kok... apa mungkin karena banyak mikirin algoritma ya hehe.. :)

    BalasHapus
  2. Wajar sih din kalo ketiga temen lu itu berpendapat demikian karena yaa yang kita tau kalo dari orang gemuk itu berarti secara kebutuhan dasar mereka, yaitu makan, dan hal itu berarti mereka ga ada masalah dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, tapi ya balik lagi ke diri kita masing-masing, sebenernya menjadi bahagia itu pilihan kita, jujur dengan bersyukur aja kita udah bisa bikin diri kita bahagia sendiri karena udah berterima kasih sama Tuhan yang karenanya kita masih bisa nikmatin hidup ini, dan kalo mau sering-sering bersyukur sih, sering-sering melihat ke bawah dibanding ke atas, maksudnya sering-sering bersyukur atas apa yang kita miliki dibanding fokus untuk mengejar apa yang tidak kita miliki, tapi semua itu ada hikmahnya sih karena Tuhan memberikan kita jalan hidup yang berbeda-beda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kayaknya bisa dibilang semua orang paham kokk dengan bersyukur bisa bikin hidup kita lebih bahagia. tapi ga semua orang bisa bener-bener nerapin itu. ga segampang itu, pal. iya, makan adalah kebutuhan dasar. tapi bukan berarti dengan bisa makan enak semua beban dan kesulitan dalam hidup bisa langsung ilang gitu aja. bahagia juga termasuk kebutuhan dasar, bukan? kalo lo termasuk yang gampang untuk merasa bersyukur yaa alhamdulillah. gue ikut seneng. thanks udah luangin waktu lo untuk maraton bacain tulisan gue🥺👍

      Hapus
  3. Pasti byk yg udh denger orang yang paling sering ketawa itu yg plg sedih ... iya itu ada bnernya tapi gak juga. Semua orang punya cara bahagia dan sedih nya.

    Gak tahu kenapa gw jarang banget kontradiksi sama pendapat lo din. Gw srg nya mlh ngerasa ya emg kyk gtu yg bener nya. Wlwkkw

    Mangatt trs menulisnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. aaa LOV U, TA! makasih dukungannya🌻♥

      Hapus
    2. yaaakk saya jugaa masih setuju dengan anda Arlita di 16 september 2020. berpendapat itu hak, sakit hati juga hak tapi manusia punyaa kewajiban untuk hidup berdampingan, dan biar berdampingan nyaa enak... saling meimikirkan kata2 untuk satu sama lain harus mulai dilakuin. love thisss buka mata bangett

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

September 2002: Dunia Menyambut Kelahirannya

Memori Baik dari Masa Putih Abu-Abu

Am I Good Enough?