Manusia dan Ekspektasi
Bagi
orang-orang yang telah membaca tulisan-tulisanku tetapi tidak kenal dekat
denganku, mungkin akan mengira bahwa aku adalah orang yang memiliki pemikiran
cukup dewasa. Padahal nyatanya, tidak juga. Aku tidak jauh berbeda dengan
remaja-remaja kebanyakan. Masih sering labil, mudah bad mood, suka mengeluh, dan lain-lain. Tapi, aku bisa memahami
mengapa orang-orang bisa berpikir demikian tentangku. Karena secara sadar
ataupun tidak, kita sering kali membangun ekspektasi tentang seseorang yang
belum tentu sesuai dengan kenyataannya.
Suatu
waktu aku bercerita kepada salah seorang temanku kalau aku sedang menyukai
seseorang yang sudah lama kukenal, tetapi sudah bertahun-tahun pula tidak
pernah bertemu maupun kontakan dengannya. Aku menyukai orang ini selama kurang
lebih dua tahun dan baru beberapa kali berinteraksi melalui pesan teks.
Karena
suatu hal, aku sangat sulit memiliki kesempatan untuk bisa bertukar kabar
dengan orang ini. Setelah satu tahun hanya bisa menunggu, ketika akhirnya
kontakan lagi, bukannya senang aku justru jadi meragukan perasaanku sendiri.
Bisa dibilang, ada sedikit kekecewaan di dalam diriku?
Selama
fase menunggu tanpa kontakan sama sekali itu, secara tidak sadar aku telah
membangun ekspektasi-ekspektasiku terhadap sosok yang kusukai ini. Ibaratnya,
kepribadian dia yang sesungguhnya adalah A, tetapi di dalam pikiran yang
kuciptakan sendiri, kepribadiannya adalah B. Makanya, ketika aku melihat
ternyata dia tidak ‘B’ seperti yang selama ini kupikirkan, aku kecewa. Padahal
dia tidak salah apa-apa. Aku lah yang berekspektasi terlalu tinggi terhadapnya.
Menanggapi
ceritaku, temanku itu berkata: “We fall
in love with the thought of someone, not the reality of who they are.”
Aku
mengangguk menyetujui kalimatnya tersebut. Kalau dipikir-pikir, ternyata
perihal ekspektasi ini bisa rentan terjadi di kalangan idola dan penggemarnya.
Belum lama ini ada salah satu idola dari boygroup
yang kusukai kepergok media sedang merokok. Beberapa penggemar merasa kecewa
dengan kenyataan bahwa idola kesayangannya tersebut merokok. Mungkin kalau
kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu, aku pun akan ikut kecewa. Karena
di mataku, image idola ini bukanlah
tipe seorang perokok. Tapi syukurnya, ketika membaca berita itu aku biasa-biasa
saja. Tidak merasa kaget ataupun kecewa sama sekali. Kenapa juga aku harus
kecewa? Aku tidak merasa berhak. Toh,
aku bukan siapa-siapanya dan tentu saja tidak tahu apapun tentang kehidupan
pribadinya selain apa yang ia tampilkan di depan kamera.
Bagaimana
ya rasanya jadi idola seperti mereka yang selalu dituntut untuk sesuai dengan
ekspektasi orang-orang? Jangankan mereka, setiap kali aku mengikuti lomba atau
sejenisnya saja aku lebih takut gagal karena takut mengecewakan orang-orang di
sekitarku. Takut tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka.
Sebuah kutipan yang kusukai dan menjadi peganganku saat ini: The version of me you created in your mind is not my responsibility.
hey, i'm here haha, baca2 dari Arina. and i fall in love with yours.
BalasHapusthanks●﹏●♡
Hapuswaaa mukul bangett iniii wkwkw. Ndaa pasti taulah why. memang marathon tulisan dinda sangat worth it. suatu waktu juga pernah nemu lagu yang menohokk, salah satu liriknyaa kasarannya gini : "saat aku menyerah, apakah kamu melihat perasaan ku ini, saat kau mendekat akankah perasaan ini masih ada" Rasanyaaa suka samaa orang emg sakit hati yang disengajaa tapi bukan nyaa buruk sebenarnyaa seru yg nyebelin nyaa adalah ekpektasi yang bikin ngerasa bego. yak sudahi curhat nyaa.
BalasHapustapi untuuk ukuran temen pun Dindaa sangat dewasa si di mata gw, banyak banget ngerasaa kata2 lo adalah kata2 yang pengen gw denger dan rasanyaa jadi punya orang yang mengerti. yoshhh lanjutkan ndaaa, terlalu keren buat hilang