Tidak Tahu Harus Memulai dari Mana

Kamis, 17 Oktober 2019.

Aku benar-benar butuh tempat untuk bicara.

Kutelpon ibu, tidak diangkat.

Satu panggilan lagi, berhasil.

“Kenapa?” Tidak kujawab, hanya isak tangis.

“Kamu kenapa?” Masih tidak kujawab.

Aku ingin, namun hanya isak tangis.

Pada akhirnya aku tidak pernah bisa menceritakan semua hal yang membuatku sesak.

Bebanku, semuanya.

Tidak tahu harus memulainya dari mana.

Tidak ada yang bisa kuceritakan.

Bahkan aku saja tidak paham, mengapa aku sering kali merasa tidak karuan?

Depresi? Tidak. Aku tidak berani bilang.

Bagian dari pubertas? Tidak.

Dari awal tidak pernah sesederhana itu.

Terlalu kompleks untuk disebut demikian.

Jadi, apa?

Persetan dengan itu semua, aku (masih) ingin hidup.

Doakan aku, semoga aku mampu.

Tulisan di atas kutulis berdasarkan apa yang kualami pada bulan Oktober 2019. Saat itu hari Kamis sekitar pukul dua siang, kelasku sedang tidak ada guru yang mengajar. Aku mendapatkan ‘undangan’ untuk mendatangi ruang Bimbingan Konseling (BK) sebab nilaiku yang cukup banyak remedialnya.

Jujur, selama di SMA, aku ini tipe siswa yang tidak begitu peduli dengan nilai. Namun, saat itu rasanya aku sangat ingin mengutuk diriku sendiri yang terlampau pemalas. Setidak-peduli apapun aku dengan nilai, aku terpaksa harus peduli, suka tidak suka, sudi tidak sudi. Setelah mencicipi jurusan IPA di kelas sepuluh, aku merasa tidak cocok di jurusan ini. Kemampuan otak maupun minat. Tapi, aku pun tidak yakin apakah aku akan cocok jika sejak awal belajar di jurusan lain? Jadilah kupaksakan diri untuk bertahan di jurusan yang salah selama satu tahun lebih. Selain itu, sepertinya aku memang sudah muak dengan semuanya.

Ibarat bom waktu, semua kemuakan dan beban yang selama ini kutahan-tahan akhirnya meledak juga. Aku keluar kelas. Di koridor lantai tiga yang sepi itu aku menangis sendirian. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah menghubungi Mama untuk menceritakan semuanya. Padahal, jika ada masalah apa pun aku selalu menceritakannya kepada teman dekat. Tidak pernah sekali pun kepada anggota keluarga. Namun, entah mengapa hari itu aku sangat ingin menceritakannya kepada Mama.

Aku pun mencoba untuk menghubungi Mama. Kalian tahu kata apa yang pertama kali keluar dari mulutku begitu teleponnya diangkat? Tidak ada. Aku diam seribu bahasa. Menangis.

Mama langsung menanyakan apa yang terjadi padaku berkali-kali, bahkan aku juga bisa mendengar suara Ayah di seberang telepon yang terdengar cemas. Aku berkata bahwa aku tidak apa-apa sambil sesegukan yang tak kunjung berhenti. Sebertolak belakang itu antara jawaban dan kondisi asliku, bagaimana keduanya tidak cemas?

Telepon kututup. Setelah menenangkan diri dan menghapus air mata agar tidak ada seorang pun yang sadar aku habis menangis, aku pun kembali ke kelas. Teman sebangkuku berkata bahwa Mama langsung mengiriminya pesan, bertanya apa yang sebenarnya terjadi padaku. Mama juga bertanya padanya apakah aku memiliki pacar? Aku tidak begitu ingat tepatnya bagaimana, yang aku tangkap adalah Mama mengira penyebab aku menangis yaitu karena aku bertengkar dengan pacarku (jika punya). Mendengar hal itu, aku tertawa miris dalam hati.

Jadi, sesempit itu ya alasan seorang remaja perempuan tujuh belas tahun menangis?

Dari sudut pandang orang dewasa, apakah remaja terlihat tidak memiliki permasalahan lain yang pantas untuk ditangisi selain masalah percintaan?

Meski begitu, aku tidak bisa lantas menyalahkan Mama. Beliau hanya tidak tahu karena aku yang tidak menceritakan apa pun kepadanya.

Aku sendiri tidak tahu alasan di balik perasaan kacau yang sering kali kurasakan ini. Pun, aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk menceritakannya. Satu hal pasti yang kuketahui, semua perasaan itu valid. It’s okay to not be okay, teman-teman.

Komentar

  1. Gak tahu kenapa, tapi di tulisan ini, kita menangis bersama.. nggak ada satu hal tertentu yang gue pikirin, tapi gue bacanya sambil nangis. Semua orang mengatakan "lo bisa cerita ke gue kapan ajaa gue selalu ada" and some of them dont mean it, tapi gue sungguh-sungguh mengatakan itu. Jadi, kapan aja lo sedih, atau senang, atau hanya menginginkan teman berbicara, gue ada. Terima kasih pelepasan penatnya (nangis). (:

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih kembali, alya. seenggaknya gue jadi sedikit lebih lega karna tau kalo gue ga sendirian. pun, "lo bisa cerita ke gue kapan aja" berlaku juga buat lo. kebetulan sekaligus syukurnya, gue justru seneng kalo ada yang curhat ke gue. kayak, merasa dipercaya aja sebagai temen. semoga penatnya beneran lepas ya!

      Hapus
    2. Hmmm... jujur gw agak bingung nanggepin blog lu yang satu ini, karena permasalahan yang lu alami sehingga membuat lu menangis juga tidak dijelaskan sebegitu detilnya, yaaa gw mengerti terkadang orang juga butuh tangisan untuk meluapkan segala emosinya walau kita juga ga pernah tau apa yang membuat kita bisa melakukan hal demikian, yaa tapi poinnya adalah selalu jadi teman yang terbaik buat orang lain karena itu bentuk persahabatan kita yang terbaik, dan juga gw agak ngakak pas yang dibilang alesannya sama mama lu itu kalau lu lagi ada masalah sama pacar lu, padahal lagi ga punya cowok wkwk.

      Hapus
  2. ihh ndak sukaa ku udah bacaa ini kok tapi komen ku ndak adaaa:((((
    Waw ini nyesekin parah. Mendem perasaan itu gak baik tapii yaa gak segampang itu dijelasiin apalagii dibandingkan takut ceritaa lebih nakutin bayangan tentang tanggapan orang lain ke cerita kitaaa. suatu hari nanti ada baiknyaa lo luapin din walaupun cmn lewat coretan kertas. karenaa kalo gak diucapin kadang rasa sedih capek sakit nyaa bisa balik sewaktu2 tapi kita gak tau apaa alesan nyaa.. yaa sebenarnyaa karena ada yang belum selesai dan lukanya malah dilupain. semangat selalu. hidup itu seru. seenggaknyaa ayo mikir gtu. semangattt selalu bebeb

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

September 2002: Dunia Menyambut Kelahirannya

Memori Baik dari Masa Putih Abu-Abu

Am I Good Enough?